Logo Rabu, 19 Maret 2025
images

MAJALAHREFORMASI.com – Dalam rangka memperingati Hari Kanker Anak Internasional, Yayasan Anyo Indonesia bersama Yayasan Cahaya Perempuan & Budaya Indonesia menggelar acara istimewa di Pusat Perfilman H. Usmar Ismail, Jakarta Selatan, yakni pentas teater anak pejuang kanker yang bertajuk "Simfoni Suara-Suara Tak Terdengar" Acara ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kanker anak serta mendukung tantangan WHO melalui GICC (Global Initiative for Childhood Cancer) dalam meningkatkan harapan hidup anak-anak penderita kanker di Indonesia dari 20% menjadi 60% pada tahun 2030.

Dalam sambutannya, Ketua Yayasan Anyo Indonesia, Pinta Panggabean, menyampaikan bahwa kanker anak bukanlah akhir dari segalanya. Dengan akses pengobatan yang lebih baik dan dukungan dari berbagai pihak, harapan hidup mereka dapat meningkat. "Kami ingin mengajak semua pihak untuk berkontribusi dalam upaya penyembuhan dan pendampingan bagi anak-anak yang berjuang melawan kanker. Dengan dukungan bersama, kita bisa memberikan mereka masa depan yang lebih baik," ujarnya.

Yang membuat acara ini unik adalah penggunaan teater sebagai media edukasi, di mana para pemainnya merupakan mereka yang dekat dengan dunia kanker anak, seperti survivor kanker, orang tua pasien, dokter spesialis kanker anak, serta pendamping anak kanker di rumah singgah. Selain itu, pertunjukan ini juga didukung oleh Teater Tanah Air Indonesia dan kelompok pantomim Sena Gigi Mime.

Salah satu pemain teater, Rofifar, yang merupakan penderita kanker tulang, menyebut bahwa tantangan jadwal latihan yang terbatas karena dalam kondisinya seperti itu dan rumahnya yang berada diluar Jakarta. "Rumah saya berada di luar Jakarta, jadi saya hanya bisa latihan sekali seminggu. Namun, dengan semangat dan dukungan tim, semua bisa diatasi," ungkapnya dengan penuh optimisme.

Menariknya, Pinta juga mengungkapkan bahwa awalnya ia tidak percaya diri ketika diajak bergabung dalam teater oleh Lena Simanjuntak. "Saya sempat ragu, bagaimana nanti caranya agar suara saya bisa terdengar dan bisa berakting di atas panggung? Tapi, kami berterima kasih karena diberi kesempatan untuk berkolaborasi dengan mereka. Ini adalah sesuatu yang baru bagi kami, dan ternyata sangat luar biasa!" katanya penuh semangat.

  • Pinta juga menambahkan Pementasan ini memiliki tujuan utama, yaitu:
  • Memberikan kekuatan serta pendampingan bagi anak-anak pejuang kanker.
  • Memotivasi orang tua agar tetap semangat dalam mendampingi anaknya dan menginspirasi mereka untuk turut menjadi relawan dalam membantu keluarga lain yang mengalami hal serupa.
  • Menghimbau pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat luas untuk lebih peduli terhadap penanggulangan kanker pada anak-anak di Indonesia.
  • Mendukung program "Inisiatif Global untuk Kanker Anak" (GICC) dari WHO yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat kelangsungan hidup anak-anak pengidap kanker hingga setidaknya 60% pada tahun 2030.

Lebih lanjut, teater bertajuk "Simfoni Suara-Suara Tak Terdengar" yang digelar (14/2) malam itu disutradarai oleh Lena Simanjuntak, seorang sutradara senior jebolan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang kini menetap di Jerman. Lena mengaku hatinya tergerak setelah melihat pemberitaan tentang anak-anak penderita kanker di media. Karena itu, ia rela tinggal berbulan-bulan di Rumah Singgah Anyo untuk mendukung produksi teater ini.

"Saya ingin menghadirkan sesuatu yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa kanker anak bukan hanya urusan keluarga pasien, tetapi tanggung jawab kita bersama," ujarnya.

Dukungan dari  Pemerintah
Acara ini juga mendapat sambutan hangat dari Direktur RS Kanker Dharmais, dr. R. Soeko Werdi Nindito D., MARS yang menyempatkan hadir di tengah kesibukannya. Ia menegaskan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap kanker anak dan menyebut acara ini sebagai langkah besar dalam membangun kepedulian bersama.

"Saat ini, pemerintah telah berusaha meningkatkan fasilitas di setiap RSUD agar bisa menangani pasien kanker anak dengan lebih baik. Namun, tantangan terbesar masih terletak pada obat-obatan yang sebagian besar masih harus diimpor dari luar negeri," jelasnya.

Ia berharap, dengan semakin banyaknya dukungan dari berbagai pihak, tingkat kesembuhan penderita kanker di Indonesia bisa mencapai 80% seperti di negara-negara maju. (David)