MAJALAHREFORMASI.com - Terdakwa Prof. Marthen Napang (MN) menolak semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuduhnya terlibat dalam kasus dugaan penipuan dan pemalsuan putusan Mahkamah Agung (MA). Kasus ini dilaporkan oleh John Palinggi (JP), seorang pengusaha terkemuka. Dalam agenda pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa (17/12), MN menyampaikan bantahannya di hadapan Hakim Ketua Buyung Dwikora.
"Saudara membantah semua dakwaan, tidak ada satu pun yang benar. Sebenarnya, ada masalah apa dengan pelapor JP?" tanya Hakim Ketua.
"Saya sebenarnya tidak ada masalah, tetapi ini soal pinjaman uang," jawab MN.
"Siapa yang meminjam dan siapa yang meminjamkan?" tanya Hakim kembali.
"John Palinggi meminta pinjaman uang kepada saya sebesar 1 miliar rupiah. Saya tidak memberikannya karena saya memang tidak punya uang. Namun, JP tetap mendesak, katanya saya punya klien yang bonafide dan meminta saya meminjamkan uang pada klien tersebut," jelas MN.
Menurut keterangan MN, ia meminta JP untuk menyerahkan fotokopi sertifikat sebagai jaminan. Namun, JP tidak menyanggupi permintaan tersebut. Hal ini memicu kemarahan JP yang merasa sudah memberikan bantuan berupa penyediaan ruangan untuk MN.
Fakta yang Mengundang Tanda Tanya
Terlepas dari bantahan MN, Menurut Moh Iqbal Kuasa hukum Pelapor, fakta-fakta yang terungkap di persidangan justru menimbulkan tanda tanya. MN mengklaim bahwa dirinya tidak pernah memberikan tiga nomor rekening kepada pelapor JP. Namun, di persidangan MN justru mengaku pernah mengirimkan dana ke tiga nomor rekening yang sama dengan pelapor. Bahkan, menurut pengakuannya di hadapan Hakim, jumlah uang yang dikirim lebih besar daripada yang disebutkan dalam dakwaan.
Selain itu, MN juga menyatakan bahwa kasus ini bermula karena dirinya menolak memberikan pinjaman sebesar 1 miliar rupiah kepada JP. Pernyataan ini menuai perhatian publik, mengingat JP dikenal sebagai seorang pengusaha sukses yang memiliki kemampuan finansial. Alasan tersebut dianggap janggal oleh banyak pihak.
Klaim Perjalanan yang Dibantah
Tidak hanya soal dana, ujar Iqbal, klaim MN terkait perjalanan juga memunculkan kontroversi. MN menyatakan bahwa dirinya terbang menggunakan pesawat Batik Air (bagian dari Lion Air Group) pada malam tanggal 12 Juni 2017 dari Makassar ke Jakarta. Namun, dalam pemeriksaan saksi oleh JPU sebelumnya, pihak maskapai yang dihadirkan di persidangan sebelumnya membantah klaim tersebut. Pihak maskapai menegaskan bahwa, berdasarkan manifes resmi, tidak ada catatan penerbangan atas nama MN pada tanggal tersebut.
Pernyataan yang saling bertolak belakang ini semakin memanaskan suasana di ruang sidang. Fakta ini menjadi salah satu poin yang menarik perhatian publik dan menambah dinamika kasus.
Persidangan kasus dugaan penipuan dan pemalsuan putusan MA ini akan dilanjutkan pada Januari mendatang dengan agenda pembacaan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum. Perkembangan kasus ini terus menjadi sorotan, mengingat banyaknya kejanggalan yang terungkap di persidangan.
Kasus ini tidak hanya mempertaruhkan reputasi terdakwa, tetapi juga memicu diskusi luas tentang integritas dan keadilan dalam proses hukum sendiri. Semua pihak kini menantikan kelanjutan persidangan. (*)