MAJALAHREFORMASI.com - Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) secara resmi telah meluncurkan penelitian mengenai “Penguatan Kebijakan Pengendalian Rokok pada Penerima Bantuan Sosial di Indonesia”.
Studi ini menyimpulkan bahwa hasil identifikasi eksternal menemukan bahwa masih banyak penerima bantuan sosial (bansos) yang merokok, rokok masih bisa dibeli secara batangan, terdapat pilihan produk rokok dengan harga yang lebih murah, dan adanya iklan rokok yang terpasang di warung menarik perhatian untuk membeli rokok.
Implementasi Keputusan Menteri Sosial (Kepmensos) No. 175 Tahun 2022 tentang Pengendalian Konsumsi Rokok di Lingkungan Kementerian Sosial masih memiliki tantangan karena ketidakcukupan sumber daya untuk melaksanakan pengawasan dan berbagai kendala dari aspek eksternal.
Temuan studi Dartanto, et al. (2021) menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan peningkatan konsumsi rokok pada keluarga penerima bantuan sosial. Hal ini seakan sejalan dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2019 yang menunjukan bahwa rokok merupakan pengeluaran 5 besar konsumsi utama pada rumah tangga miskin.
Aryana Satrya, Ketua dan Tim Riset PKJS-UI, menyampaikan dalam paparannya bahwa lahirnya Kepmensos No. 175/2022 masih memiliki berbagai tantangan dalam penerapannya.
“Pertama, harga rokok masih murah dan dapat dibeli secara ketengan. Studi PKJS-UI tahun 2022 menunjukkan harga rokok per bungkus relatif murah, yaitu rata rata-rata berkisar Rp30.000 dan masih bisa dibeli secara ketengan dengan harga yang sangat murah, yaitu Rp2.000 per batang.
Kedua, mengutip studi PKJS-UI tahun 2023, rokok masih sangat mudah dijangkau oleh masyarakat miskin. Hal ini terbukti dari warung rokok yang cukup padat di DKI Jakarta.
Ketiga, studi PKJS-UI juga menunjukkan terdapat kecenderungan peningkatan konsumsi rokok pada keluarga penerima dana bantuan sosial.
Keempat, data Global Adult Tobacco Survey tahun 2011 menunjukkan sebanyak 75,3% orang menyadari adanya iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Selly Andriani Gantina, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Komisi VIII, memberikan beberapa tanggapan bahwa harus ada regulasi yang dikeluarkan dalam RPJMN atau RPJPN, serta sinergitas antara Kementerian/Lembaga dan harus mengikat, tidak hanya di Kemensos saja.
Di Kemensos pertama mengenai sistem yang perlu diperbaiki terkait data terpadu, test UBM sangat bagus sekali. Pada saat ada konten yang harus dimasukkan ke Pusdatin, salah satunya misalnya untuk menjadi peserta penerima bansos, harus ada tes kesehatan tidak hanya surat pernyataan, harus ada surat tertulis dari Puskesmas yang gratis, bahwa keluarga penerima manfaat harus dalam kondisi sehat.
Kedua, regulasi SDM pilar sosial Kemensos. Ada banyak, termasuk pendamping PKH dimana selama ini mereka melakukan pengawasan terhadap program bansos di masyarakat, jangan sampai mereka juga masih merokok.
Penanggap selanjutnya yaitu Matheus Hendro Purnomo, Direktur Standardisasi dan Pengendalian Mutu, Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan RI mengatakan bahwa terkait dengan bagaimana pengendalian konsumsi rokok pada penerima bantuan sosial, tentu sudah ada di PP109/2012, yang perlu dilakukan revisi.
PP ini lebih komprehensif tentang tembakau dan kesehatan, dimana didalamnya mengatur peredaran, mungkin ke depan perlu dimasukkan pembatasan ini (dana bansos tdk digunakan utk beli rokok).
Risna Kusumaningrum, Pekerja Sosial Ahli Muda, Direktorat Jaminan Sosial, Kementerian Sosial RI, pun menanggapi bahwa Kemensos punya peran penting. P2K2 mempunyai peran yang sangat strategis untuk pengendalian tembakau pada penerima bansos.
Klinik UBM yang ada di puskesmas ini akan coba dilakukan Kemensos dengan melakukan semacam pilot. P2K2 bisa menjadi peluang untuk upaya UBM yg disosialisasikan kepada para KPM, dan peran puskesmas juga bisa menyampaikan materi.
“Mungkin kalau sistem bansos hanya diberikan di kota-kota besar, misal dengan voucher belanja di minimarket, itu semua bisa terdeteksi. Tetapi ini ada 10 juta di seluruh Indonesia dengan berbagai karakteristik medan yang sangat kaya dan keterbatasan infrastruktur. Ini menjadi keterbatasan tersendiri.
Penanggap terakhir, Benget Saragih, Ketua Pengendalian Penyakit Akibat, Tembakau, Kementerian Kesehatan RI menyampaikan satu hal yang perlu diperhatikan ialah rokok elektronik meningkat tajam dari 0,3% pada 2001 dan menjadi 3% pada 2011.
Rokok itu membunuh 290 ribu orang per tahunnya. Pembelian rokok pada keluarga menjadi urutan kedua setelah beras, ini menjadi hambatan untuk keluar dari jerat kemiskinan. Dalam rangka penurunan prevalensi ini, Kemenkes berkomitmen memperkuat pengendalian rokok melalui Revisi PP 109/2012. Baik pengendalian secara fiskal dan non-fiskal.
"Secara non-fiskal, kita upayakan PHW 90%, menguatkan larangan penjualan rokok untuk anak dan ibu hamil, larangan rokok melalui mesin otomatis, larangan penjualan rokok batangan, dan penerapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di seluruh Kabupaten dan Kota," tutupnya. (Red)