Logo Sabtu, 15 Februari 2025
images

MAJALAHREFORMASI.com - Pasca pengesahan Undang-Undang (UU) Omnibus Law Kesehatan dan perumusan RPP Kesehatan, bergulir isu akan terhantamnya bisnis-bisnis yang berhubungan dengan industri tembakau. Narasi berbeda jauh dengan UU Cipta Kerja sebelumnya yang justru banyak ditentang buruh karena dianggap akan merugikan, kian berbeda dengan RPP Kesehatan yang justru mati-matian ditentang oleh para pemilik bisnis.

Masyarakat kelas pekerja seolah diminta memahami kepentingan pemilik industri dengan harus berlapang dada menerima pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja meski Mahkamah Konstitusi (MK) memutus UU Cipta Kerja ini inkonstitusional bersyarat.

Namun, kelas pemodal, dalam hal ini industri tembakau, selalu bermain narasi seolah menjadi korban dari RPP Kesehatan yang bahkan belum disahkan. Publik kesulitan memahami bahwa selama ini, buruh dan petani tembakau nyatanya berada dalam kondisi rentan yang diakibatkan oleh industri tembakau itu sendiri.

Pada tahun 2022 volume impor tembakau jauh melebihi volume ekspor tembakau Indonesia ke luar negeri, mencapai 15,1 ribu ton impor dibandingkan dengan 12,9 ribu ton ekspor per Oktober 2022. Belum lagi, seringkali tembakau lokal juga tidak terserap optimal oleh pabrik dengan dalih kualitas tembakau. Padahal selama ini Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) justru kurang lebih 50% dari total DBHCHT dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat termasuk peningkatan kualitas bahan baku dan pendampingan petani tembakau.

Ni Made Shellasih, Program Manager Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC), menjelaskan bahwa hadirnya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) kesehatan yang mempersatukan aturan ini justru semestinya dipandang sebagai wasit dari kompetisi dua produk berbahaya bagi kesehatan ini. Sebagai panduan yang konsisten, RPP Kesehatan dapat memberikan kerangka kerja yang setara untuk rokok konvensional dan rokok elektronik, melindungi masyarakat dari efek buruknya, serta mengarahkan industri rokok elektronik agar mematuhi standar kesehatan yang sama seperti rokok konvensional.

“Momentum Pemilu seringkali menjadi hambatan untuk tembusnya kebijakan yang pro pada perlindungan anak dan kesehatan masyarakat. Sebagai contoh kasus FCTC batal menjelang pemilu, serta cukai rokok tidak pernah naik ketika tahun pemilu," imbuh Shella.

Daniel Beltsazar, Program and Research Officer IYCTC, menyampaikan bahwa selama ini kebijakan pengendalian konsumsi rokok sudah terlalu banyak mengakomodir kepentingan yang secara data sebenarnya berbahaya bagi kesehatan. Seperti contoh, klasifikasi rokok sebagai narkotika bahkan sudah tidak dimasukkan di dalam UU Kesehatan. Meski BNN sendiri pernah menyatakan bahwa kandungan nikotin dalam rokok sebenarnya adalah narkotika jenis rendah.

IYCTC mendesak kepada Presiden Joko Widodo dan Kementerian Kesehatan, agar kebijakan pengendalian konsumsi rokok di RPP Kesehatan diperkuat dan segera disahkan karena hingga detik ini justru perlindungan anak dan masyarakat dari adiksi rokok lah yang belum diatur, serta masih lemahnya keberpihakan negara untuk menanggulangi krisis epidemi tembakau di Indonesia selama bertahun-tahun. Penting untuk menghindari pengulangan kebuntuan revisi dan lemahnya PP 109 tahun 2012 dalam melindungi masyarakat dari dampak kesehatan yang disebabkan oleh produk tembakau yang mengandung zat adiktif.(Red)