Logo Jumat, 29 Maret 2024
images

Saat peluncuran Laporan ”Forced Labor at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers”

JAKARTA, MAJALAHREFORMASI.com- Ternyata kasus penahan upah dan kekerasan di tempat kerja masih kerap menimpa anak buah kapal (ABK) Indonesia. Hal itu dibuktikan dalam laporan yang dikeluarkan Greenpeace Asia Tenggara (GPSEA) bekerja sama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) bertajuk “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers”.

Tercatat ada dua puluh (20) perusahaan agen tenaga kerja Indonesia dan 26 perusahaan perikanan dari Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, Cote d’Ivoire dan Nauru diduga melakukan praktik kerja paksa terhadap anak buah kapal (ABK) Indonesia, sebagaimana tercantum dalam laporan terbaru Greenpeace Asia Tenggara (GPSEA) bekerja sama dengan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI).

Afdillah, selaku juru kampanye laut Greenpeace Indonesia mengungkapkan melalui serangkaian pemeriksaan dokumen, wawancara dengan ABK, serta pencocokan dengan pemberitaan di media massa, Greenpeace Asia Tenggara mengidentifikasi indikator kerja paksa yang paling banyak dilakukan, diantaranya penahanan upah (87%), lingkungan kerja dan hidup yang penuh kekerasan (82%), penipuan (80%) dan penyalahgunaan kerentanan (67%).

Dalam sebuah wawancara dengan Bapak M yang bekerja di kapal Zhou You 905, ia menyebut bahwa upah yang ia terima berbeda dengan yang tertera pada kontrak kerja. Setelah bekerja di laut selama 11 bulan, ia hanya menerima Rp 8.800.000 (US$615) dan disertai dengan intimidasi.

“Istri saya yang menerima uangnya. Dia harus menandatanganinya dengan kontrak yang sudah saya tandatangani, karena upah yang saya tandatangani pada dokumen perjanjian kerja di laut tidak sesuai dengan yang ditandatangani istri saya,” tutur Bapak M.

Komplain lain mengungkit praktik perburuan ikan hiu dan transshipment (kegiatan pemindahan barang atau muatan yang dilakukan di tengah laut dari kapal ke kapal). Komplain ini mengungkap pula bagaimana ABK Indonesia seringkali berada di tengah laut untuk waktu yang lama.

“Kami tidak pernah berlabuh, bahkan tidak untuk mengisi bahan bakar minyak. Semua transaksi dilakukan di tengah laut. Sirip ikan hiu yang sudah kering, beberapa dibawa oleh kapal pengumpul. Belum dikemas, namun sudah kering dan diikat dengan tali, lalu dilempar ke kapal pengumpul,” kata Bapak A, yang bekerja di kapal Hanrong 363.

Afdillah menambahkan bahwa pihaknya telah menghubungi sejumlah perusahaan yang terlibat dalam dugaan kekerasan ini. Hanya tiga perusahaan yang memberikan respons dan semuanya membantah dugaan tersebut.

Laporan “Forced Labour at Sea: The Case of Indonesian Migrant Fishers” merupakan lanjutan dari laporan serupa yang diluncurkan pada 2019, “Seabound: The Journey to Modern Slavery on the High Seas". GPSEA membandingkan keduanya dan menemukan bahwa jumlah komplain yang dilaporkan bertambah menjadi 62 komplain (selama 13 bulan, Mei 2019 - Juni 2020) dari 34 komplain (selama 8 bulan, Desember 2018 - Juli 2019). Tidak ada komplain yang tumpang tindih pada kedua laporan ini.

Kelemahan regulasi di Indonesia dan tidak adanya perlindungan yang jelas terhadap ABK, ujar Afdillah, dimanfaatkan oleh agen perekrut tenaga kerja untuk merekrut tenaga kerja melalui praktek birokrasi yang koruptif. Bukan itu saja, sudah saatnya  Indonesia sebagai pengirim tenaga kerja terbanyak di Asia Tenggara harus proaktif melakukan langkah-langkah diplomasi dengan mendesak negara-negara terkait seperti negara pemilik kapal, negara pelabuhan dan negara industri pengolahan ikan untuk memastikan perlindungan kepada para pekerja migran di atas kapal perikanan. (DAVID)