MAJALAHREFORMASI.com - Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) baru-baru ini mendiseminasikan hasil penelitian berjudul “Distribusi Spasio-Temporal Penyedia Rokok (Batangan dan Elektronik) di Kota Medan, Malang, dan Bogor Tahun 2015 dan 2022”.
Studi ini menunjukkan bahwa terdapat tren kenaikan jumlah warung penjual rokok batangan dan penyedia rokok elektronik dalam rentang waktu 2015 dan 2022 di ketiga kota tersebut.
Hasil wawancara menunjukkan sebagian informan penjual warung rokok menyatakan bahwa mereka mendukung rencana Pemerintah untuk melarang penjualan rokok batangan karena warung mereka tidak sepenuhnya bergantung pada penjualan rokok.
Dr. Renny Nurhasana (Peneliti PKJS-UI) dalam paparannya menyampaikan bahwa kemudahan akses berupa lokasi penjualan rokok yang dekat dengan sekolah berkorelasi mendorong perilaku merokok pada anak-anak.
"Di DKI Jakarta sendiri penjualan rokok secara batangan ini sangat masif dan tersebar padat di sekitar sekolah, dimana seharusnya hal ini tidak terjadi," terang Renny.
Risky Kusuma Hartono, Ph.D (Peneliti PKJS-UI) menyampaikan beberapa poin temuan dalam studi ini.
Densitas warung penjual rokok batangan di Kota Medan terjadi tren kenaikan jumlah dari 2015 ke 2022 sebesar 25,6%. Peningkatan penjual rokok tersebut karena daerah padat penduduk dan banyak wilayah perkantoran.
Kota Bogor juga masih mengalami tren kenaikan jumlah warung rokok sebesar 5% dari 2015 ke 2022. Padahal Perda KTR di Kota Bogor menyebutkan adanya pelarangan penjualan rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun dan pembeliannya harus menunjukkan bukti identitas diri.
Oleh karena itu, studi ini memberikan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
● Pemerintah Daerah melengkapi revisi Perda KTR atau Reklame dengan memasukkan pelarangan penjualan rokok kepada anak-anak, baik itu penjualan rokok batangan maupun rokok elektronik;
● Kementerian Dalam Negeri mendorong daerah untuk menegakkan larangan iklan, promosi,
sponsorship, dan penjualan rokok batangan serta rokok elektronik di sekitar lokasi sekolah;
● Kementerian Perdagangan mengembangkan teknis larangan penjualan rokok kepada anak, seperti
penjualan dengan menunjukkan KTP, peringatan bahwa toko tidak menjual rokok kepada anak-anak, dan melarang distributor apabila menyediakan rokok batangan kepada warung;
● Dinas Kesehatan daerah dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dapat mengoptimalkan
pendanaan untuk menegakkan KTR melalui Pajak Rokok Daerah (PRD);
● Kementerian Kesehatan segera merevisi dan mendorong pengesahan regulasi pengendalian produk tembakau sampai tingkat nasional dengan melarang penjualan rokok batangan dan mendorong target Perda KTR hingga tahap implementasi.
Drs. Makmur Marbun, M.Si. (Direktur Produk Hukum Daerah, Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri RI) menyampaikan bahwa Kemendagri telah memiliki tim percepatan regulasi KTR karena mengacu pada 1 dari 5 program Bapak Presiden terkait upaya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM).
Saran penelitian ini akan menjadi tugas Direktur PHD (Produk Hukum Daerah) untuk mendorong agar seluruh daerah melakukan pengaturan, baik dalam bentuk Perda, Peraturan Kepala Daerah (Perkada), atau Surat Edaran terkait dengan KTR.
Sofiyansyah, S.T., M.Si. (Pengawasan Perdagangan Ahli Muda, Kementerian Perdagangan RI), memberikan tanggapan bahwa hal yang perlu dilakukan pertama kali adalah penguatan regulasi, di antaranya melalui revisi PP 109/2012 dan dilanjutkan melalui regulasi peraturan di bawahnya.
Pasal 25 dalam PP 109/2012 sudah menyebutkan bahwa bahwa setiap orang dilarang menjual produk tembakau melalui; a) mesin layanan diri, b) kepada anak di bawah 18 tahun, c) kepada perempuan hamil, namun masih belum ditemukan sanksi apabila melanggar.
Oleh sebab itu merasa bahwa perlu untuk dilakukan pengaturan pembatasan produk agar bisa lebih efektif dan efisien, sehingga ketika dalam hal memperdagangkannya, importirnya, distributornya, maupun pedagangnya terdaftar jelas (licensing).
Penanggap selanjutnya, Ika Lastyaningrum, SKM., MKM. (Ketua Tim Kerja Bidang Promosi Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Bogor), menyampaikan Harga rokok batangan ini memang relatif lebih murah dan belum ada regulasi secara khusus yang mengatur hal ini menjadi tantangan tersendiri.
Meski demikian, pihaknya mengakui di Kota Bogor sendiri, edukasi sudah dilakukan kepada anak usia TK dan ada duta KTR di sekolah-sekolah yang sudah dilatih. Skrining dengan CO2 analyzer juga sudah dilakukan dengan mengunjungi sekolah-sekolah.
dr. Benget Saragih, M.Epid (Ketua Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Kementerian Kesehatan RI), menyebutkan bahwa telah terdapat 107 negara yang melarang penjualan rokok batangan, di antaranya Kanada, Kosta Rika, Guetmala, China, Thailand, Singapura, dan Timor Leste.
“Rencana Keppres No. 25 Tahun 2022 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2023 terkait larangan penjualan rokok batangan sudah masuk untuk diatur pada revisi PP 109/2012, tetapi masih ditunda karena saat ini sedang ada pembahasan RUU Kesehatan," kata dia.
Penanggap terakhir, Yusran Isnaini, S.H., M.Hum (Tenaga Ahli Fraksi PAN Komisi VI DPR RI), mengungkapkan keprihatinannya melihat maraknya penggunaan rokok di kalangan anak dan remaja. "Menjadi tugas kita semua, terutama pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk terus mengoptimalkan edukasi dan sosialisasi yang kreatif tentang bahaya rokok di kalangan anak dan remaja," ungkap dia.
Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D., IPU., ASEAN Eng., Ketua PKJS-UI, menambahkan bahwa Indonesia masih memiliki jumlah perokok anak yang tinggi bahkan dikenal dengan istilah baby smoker country karena prevalensi usia 13-15 tahun menduduki tiga besar di dunia setalah Timor Leste dan Bhutan menurut data Global Youth Tobacco Survey tahun 2019. (Red)