Logo Sabtu, 15 Februari 2025
images

MAJALAHREFORMASI.com - Pengusaha kondang dan Ketua Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor Indonesia (Ardin) John Palinggi mengaku prihatin dengan kondisi perpecahan di tubuh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) saat ini. "Saya sedih melihat situasi ini yang berulang-ulang," ucap mantan Dewan Analisis dan Strategis sekaligus pengajar intelijen di Badan Intelijen Negara (BIN) ini dalam wawancaranya.

John dengan tegas mengingatkan bahwa dunia usaha menilai peran organisasi ini tidak hanya dari sudut pandang internal, tetapi juga dari pengusaha yang berada di luar struktur Kadin. Oleh karena itu, penting bagi Kadin untuk tidak mengecewakan atau menghambat investasi asing, karena hal tersebut dapat merugikan negara dalam meningkatkan daya saingnya.

Terlebih, menjelang transisi kepemimpinan dari Presiden Jokowi ke Prabowo Subianto, menjaga iklim investasi yang kondusif menjadi sangat krusial agar Indonesia tidak mengalami penurunan kemampuan dalam menarik dan mempertahankan investasi.

John menilai sesudah berahirnya era kepemimpinan Hasjim Ning dan Sukamdani Sahid Gitosardjono  menjadi ketua Kadin, organisasi ini sudah mulai tergoyang oleh berbagai kepentingan pribadi dari oknum-oknum tertentu. Bahkan, individu-individu dengan rekam jejak yang tidak bersih mulai menampilkan diri seolah-olah layak memimpin Kadin.

"Kadin itu rusak karena dihuni oleh orang-orang yang memang ingin menjadikan Kadin sebagai alat untuk mencari proyek mengambil uang di bank tetapi nggak dibayar-bayar, mereka susah disentuh karena dianggap organisasi milik pemerintah padahal pada pasal 4, UU 1/1987 disebutkan dengan jelas bukan milik pemerintah," ungkapnya.

Artinya, perpecahan di tubuh Kadin disebabkan oleh orang-orang yang memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri, merusak fungsi organisasi yang seharusnya independen, dan bukan menjadi bagian dari pemerintah atau partai politik. Akibatnya, banyak pengusaha profesional, terutama dari kalangan Tionghoa, enggan terlibat karena melihat potensi bahaya dan intrik politik di dalamnya.

Fungsi-fungsi utama Kadin, seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang (UU) Nomor 1 Tahun 1987, diantaranya penyebaran informasi kebijakan pemerintah, penyaluran aspirasi pengusaha, dan pendidikan serta pelatihan bagi pengusaha, sudah tidak dijalankan dengan baik.

Selain itu, praktik monopoli dalam pengadaan barang dan jasa tanpa pemerataan kesempatan semakin memperparah situasi. "Saat ini Pengadaan barang dan jasa tidak menunjukkan pemerataan kesempatan perusahaan hanya dimonopoli orang-orang yang ada dalam pemerintah itu sendiri yakni keluarganya akibatnya hampir 600 triliun nggak tahu ke mana beli barang tidak senonoh, dulu keputusan presiden yang menyatakan harus dilakukan tender kualitas baik kemudian dalam jangka waktu tertentu, sekarang tidak," ujarnya.

Kadin juga gagal menjaga hubungan yang baik antara pekerja dan pengusaha, memperburuk citra organisasi di mata dunia usaha, baik dalam maupun luar negeri. "Selalu demonstrasi buruh padahal demonstrasi buruh itu bisa dikomunikasikan dengan baik. Kadin menaruh orang yang tidak punya perusahaan di lembaga pengupahan akibatnya upah minimum regional Jakarta Rp5,300,000 dipukul rata dari perusahaan kecil menengah besar ya keliru," tegas John.

Secara keseluruhan, imbuh John, kemunduran Kadin disebabkan oleh penyimpangan dari tujuan utamanya, kepentingan politik, serta pengabaian terhadap tanggung jawabnya sebagai wadah komunikasi dan konsultasi pengusaha.

Meskipun ada banyak politikus yang baik, sayangnya Kadin kini dihuni oleh mereka yang tidak berintegritas, yang masuk hanya untuk mengacaukan organisasi, sehingga mempersulit proses kepemimpinan yang baik.

Berbicara tentang buruknya integritas  John memberikan contoh nyata  dimana organisasi yang dipimpinnya, Ardin, ternyata juga telah dipalsukan dan didaftarkan secara ilegal oleh seseorang bernama Bambang.  Akibatnya, mereka diblokir oleh Anindya Bakrie, yang saat itu menjabat sebagai ketua organisasi, padahal Ardin adalah salah satu pendiri Kadin Indonesia.

Yang lebih aneh, John justru dipecat oleh Abu Rizal Bakrie karena dituduh mendukung UKM Elias, meskipun sebenarnya tidak pernah terlibat. Kejadian ini terjadi di Hotel Borobudur, dan dengan penuh emosi, ia mengatakan, "Saya menangis waktu itu, dan saya bilang, Tuhan akan datang untuk menghukum orang yang mencemarkan nama saya, tidak lama kemudian terjadi di lumpur Sidoarjo."

Seperti diketahui, terdapat tiga pendiri utama Kadin, yaitu: Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor Indonesia (Ardin), Ikatan Konsultan Indonesia (Inkindo), dan Gabungan Pengusaha Konstruksi Indonesia (Gapensi). Ketiga organisasi ini diakui oleh pemerintah dan diberikan peran yang sangat penting dalam pengembangan ekonomi.

Perjalanan John Palinggi di Kadin

John Palinggi menceritakan perjalanan panjangnya di Kadin Indonesia,  pernah  menjabat Ketua Kadin Kota Madya Samarinda dan mantan Ketua Umum Kadin Provinsi Kalimantan Timur, memulai perjalanan profesionalnya dengan memimpin perusahaan kayu dan aktif di Asosiasi Perkayuan Kalimantan Timur sejak era Suharto.

Dirinya bersentuhan langsung dengan Musyawarah Nasional Kadin di Bali Beach pada tahun 1979. Saat itu, ia menyaksikan pertarungan dua tokoh besar,  Hasjim Ning dan Suwato Sukendar. Di sana pula, ia bertemu dengan beberapa tokoh penting, seperti Yuli Yahya dari Bank Niaga, Jenderal Soemitro, dan Ibu Kemala Motik.

Dalam suasana yang memanas, Kemala Motik bahkan mengambil sepatunya, menghentak meja, dan berkata tegas, "Kalau kalian laki-laki tidak bisa memimpin, saya yang akan memimpin!" sambil mengetuk meja dengan sepatunya.

Peristiwa tersebut berlanjut ketika John, yang bekerja di perusahaan dengan pengaruh besar di Jakarta, melapor ke mantan Presiden Soeharto. Suharto kemudian memanggil Adam Malik dan memberinya surat dalam amplop. Bersama Adam Malik, John berangkat kembali dan bertemu dengan Suwato Sukendar, yang langsung menerima instruksi dari Presiden Suharto untuk memberikan kesempatan kepada Hasjim Ning memimpin.

Dalam sekejap, situasi di Bali Beach berubah, semua pihak yang tadinya menentang akhirnya mundur.

Selanjutnya, pada Musyawarah Nasional  (Munas) Kadin tahun 1983 di Hotel Horizon Ancol, hanya Kadin provinsi yang memiliki hak suara, dengan 26 provinsi masing-masing memiliki tiga suara. Saat itu, pertarungan terjadi antara dua calon kuat: Probosutedjo dan Sukamdani Gito Sarjono. John berada di tim Sukamdani, sementara Baramuli dan Surya Paloh, yang sudah ia kenal sejak lama, mendukung Probosutedjo. Menurut John, Surya Paloh adalah sosok yang pandai memainkan kartu, meskipun setiap orang memiliki kekurangan masing-masing.

Seiring berjalannya waktu, setelah era kepemimpinan dua tokoh besar ini, Kadin mulai kehilangan arah. Kepentingan pribadi, oknum-oknum tertentu, dan bahkan orang-orang yang tidak layak mulai bermunculan, seolah-olah mereka ingin memimpin Kadin tanpa mempertimbangkan integritas organisasi. (David)