Logo Rabu, 22 Januari 2025
images

MAJALAHREFORMASI.com - Praktisi ekonomi dan pengusaha nasional, DR. John Palinggi, MBA, mengungkapkan bahwa sejak lama pengadaan barang dan jasa di instansi pemerintah telah menjadi ladang subur bagi praktik korupsi, yang berpotensi merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah setiap tahunnya.

Program e-Katalog, yang digadang-gadang awalnya menciptakan efisiensi dan transparansi, justru sering disalahgunakan menjadi celah untuk praktik monopoli. "Ketentuan yang mewajibkan pengadaan hanya melalui e-Katalog sering kali digunakan sebagai dalih untuk membatasi peluang pengusaha lain yang ingin berkontribusi. Ini pada akhirnya menghilangkan kesempatan mereka untuk mengambil bagian dalam usaha," ungkapnya.

Ironisnya, monopoli dalam pengadaan barang dan jasa sering kali melibatkan pejabat-pejabat pemerintah yang mengikutsertakan keluarga, seperti anak dan istri, serta kolega dekatnya. "Ada kasus di Indonesia di mana seseorang mampu membeli jet pribadi hanya dari keuntungan pengadaan barang di satu instansi pemerintah," jelasnya.

Monopoli dalam sistem pengadaan barang pemerintah tidak hanya merugikan persaingan usaha, tetapi juga melahirkan oknum yang hanya berorientasi pada keuntungan semata, tanpa memperhatikan kualitas hasil kerja. Akibatnya, barang dan jasa yang dihasilkan sering kali tidak sesuai standar.

Ia menambahkan kasus yang kerap terjadi adalah ketidaksesuaian volume barang yang diadakan. Misalnya, dalam pengadaan 100 unit barang, yang disediakan hanya 70 unit. Selain itu, pembelian barang sering kali sudah ditentukan mereknya, tetapi yang dibeli justru barang murah dengan kualitas rendah.

Hal yang sama terjadi pada proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan. "Jalan yang seharusnya dibangun sepanjang 6 kilometer, hanya dibuat 5 kilometer. Ketebalan jalan yang dirancang 75 cm, akhirnya hanya dibuat 40 cm. Akibatnya, negara mengalami kerugian besar," ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor (ARDIN) .

Mantan Dewan Analisis Strategis di BIN tersebut juga membandingkan kualitas infrastruktur di Indonesia dengan di luar negeri. "Saya sudah keliling ke-41 negara. Di luar negeri, aspal jalan yang dipasang hari ini bisa bertahan hingga lima tahun atau lebih tanpa kerusakan. Tapi di Indonesia, baru seminggu selesai dibangun, jalannya sudah rusak dan harus diperbaiki lagi. Ini jelas pemborosan uang negara," ungkapnya dengan nada prihatin.

John menambahkan bahwa di luar negeri, pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan dengan orientasi jangka panjang. Barang yang dibeli sekali memiliki kualitas tinggi dan mampu bertahan lama, termasuk pembangunan jalan raya yang kokoh dan tahan hingga puluhan tahun. "Saya heran, jenis aspal apa yang mereka gunakan di luar negeri sehingga bisa bertahan 10 tahun tanpa kerusakan. Sementara di sini, delapan bulan saja sudah rusak," kritiknya.

Oleh sebab itu, ujar John, praktik-praktik buruk seperti ini harus segera dihentikan. Sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah harus diarahkan pada transparansi dan akuntabilitas, memastikan hanya pengusaha yang benar-benar kompeten dan memiliki orientasi pada kualitas yang dilibatkan. Dengan cara ini, kerugian negara dapat diminimalisir, dan hasil pembangunan dapat dinikmati masyarakat dalam jangka waktu yang lebih lama.

Bukan hanya itu, John menyoroti beberapa kejanggalan lainnya dalam sistem pengadaan. Salah satunya, keterlibatan perusahaan dengan kredibilitas diragukan. "Ada pengadaan barang bernilai triliunan rupiah yang dilakukan dengan perusahaan yang katanya berbasis di Singapura. Tapi setelah saya survei, ternyata kantor mereka sangat kecil, hanya berukuran 4x5 meter. Bagaimana perusahaan seperti itu bisa menyediakan alat canggih yang kita butuhkan?" kritiknya.

Lebih parah lagi, sistem ini menciptakan ketimpangan yang mencolok di lingkungan instansi pemerintah. Pejabat level kepala seksi ke atas hidup mewah, sementara pegawai rendahan harus berjuang untuk mencukupi kebutuhan harian. "Ini menunjukkan betapa mendesaknya reformasi dalam pengelolaan pengadaan barang serta pengawasan anggaran," tambahnya.

John menyarankan agar regulasi pengadaan barang diringkas dan disederhanakan. "Aturannya cukup diringkas menjadi 10 lembar saja, tidak perlu sampai 200 halaman lebih. Intinya, pengusaha cukup mengajukan penawaran, lalu diperiksa kecukupan dananya di bank. Jika memadai, proses pengadaan bisa langsung dilanjutkan. Simpel, bukan?" usulnya.

John tak lupa mengingatkan pihak bank agar lebih berhati-hati dalam mengeluarkan referensi bank. "Bank jangan terlalu gampang memberikan referensi seolah-olah pengusaha itu bonafide, padahal uangnya tidak ada. Ini membuka peluang bagi pengusaha 'jadi-jadian' yang tidak layak mengikuti proses pengadaan," tegasnya.

Sebagai solusi, John menekankan lagi-lagi pentingnya pengadaan barang dan jasa yang transparan.  Dimana prinsip dasar pengadaan meliputi keterbukaan proses tender, jaminan kualitas barang atau jasa, harga bersaing, pelaksanaan tepat waktu, dan transparansi di setiap tahapannya. Semua ini harus ditegakkan demi mencegah kerugian negara dan menciptakan sistem yang lebih akuntabel. (David)